Jangan Pertanyakan Tulisan Ini, Pamali !

Bagi orang sunda, kata pamali bisa jadi merupakan mantra yang sanggup membuat seorang anak menuruti apa yang diperintahkan orang tuanya. Semisal melarang melakukan sesuatu hal. Bukan pada kata pamali itusendiri, namun penggunaan kata tersebut hampir pasti selalu diikuti cerita – cerita seram jika seseorang melanggarnya.

Simak saja beberapa pamali yang dialami saya sendiri sewaktu kecil, semisal pamali memotong kuku malem – malem karena nantinya itu kuku bisa berubah wujud menjadi makhluk menyeramkan, atau pamali saat sareupna berada di luar rumah. Sareupna merupakan waktu disaat adzan maghrib berkumandang. Selain dua contoh itu, ada sederet pamali lainnya yang digunakan untuk menyebutkan hal – hal yang dianggap tabu dan tidak boleh dilakukan.

Beberapa diantaranya, ada yang sangat logis, namun sebagian lainnya sangat tidak logis meskipun pada akhirnya jika diterjemahkan akan memberikan manfaat. Hanya penyampaiannya saja yang membuat pamali menjadi terlihat tidak logis dan hanya berupa mantra andalan orang tua untuk menaklukan anaknya.

Adapun tradisi lisan ini memang sangat dikenal dalam budaya lisan masyarakat sunda. Lantas kenapa sampai dikatakan bahwa kata pamali itu memiliki kekuatan bak sebuah mantra? Karena kata ini digunakan untuk sesuatu yang bersifat tabu, untuk melarang melakukan atau mengucapkan sesuatu yang diyakini akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri jika hal itu sampai dilaukan. Hebatnya, sewaktu saya kecil, ada ketentuan tak tertulis bahwa seseorang tidak perlu mempertanyakannya kenapa hal itu disebut pamali. Seolah sudah menjadi sebuah ketentuan alam yang tidak bisa diganggu gugat.

Tentu ada alasan yang kuat dibalik mitos yang mereka percayai itu. Alasan itu bisa merupakan hal yang sebenarnya atau hanya karena mereka sudah terbiasa hidup dengan mitos tersebut. Kadang-kadang kata pamali dan mitos jauh lebih ampuh dibanding dengan hukum atau aturan udang-undang. Jika kita telusuri alasan dibalik kata pamali, memang ada pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.

Salah satu contoh kehidupan yang hingga kini masih memegang teguh kata-kata pamali, mitos dan adat, adalah komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya. Salah satu keunikan Kampung Naga adalah pola hidup penghuninya, yang di jaman kini jarang ditemukan di daerah lain, yakni kehidupan yang selaras dengan alam.

Banyak di antara peneliti yang penasaran ingin mengetahui, apa rahasianya sehingga warga Kampung Naga mampu menjaga dengan baik hutan mereka, tanaman dan air yang ada di wilayahnya. Salah seorang sesepuh masyarakat di Kampung Naga, menyebut satu kata, yaitu: Pamali, itulah kata kuncinya.

Segala sesuatu yang dilarang untuk dilakukan di Kampung Naga berawal dari sebuah kata kunci tadi. Bagi masyarakat Kampung Naga, pamali merupakan larangan melakukan sesuatu yang dianggap tidak baik. Larangan itu berasal dari pemimpin dan nenek moyang mereka sebelumnya. Itu dipercaya serta dipatuhi oleh warga secara turun temurun hingga sekarang.

Semisal pamali mengambil ikan dengan menggunakan racun, pamali mengotori air sungai dengan sabun, pamai menebang pohon di hutan, merupakan beberapa contoh larangan yang diterapkan komunitas Kampung Naga. Orang Kampung Naga banyak sekali menggunakan kata pamali, mulai dari hal yang sepele sampai hal-hal yang besar. Dengan kata mujarab pamali inilah orang-orang di Kampung Naga menjaga kelestarian lingkungan hidupnya sampai ratusan tahun. Tidak ada peringatan dilarang menebang pohon di tempat itu, tidak ada rambu larangan membuang sampah ditempel di pinggir sungai. Di sana memang tidak ada aturan tertulis, semuanya hanya diketahui dari mulut ke mulut. Menurut sesepuh Kampung Naga, sejak kecil anak-anak di sana sudah tahu apa-apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Pengetahuan itu di dapat dari orang tua, kakek dan nenek mereka secara turun temurun.

Uniknya lagi, meski tidak ada peraturan yang jelas dan tertulis, tami semua orang menjadi patuh dan taat. Dengan peraturan pamali di Kampung Naga, tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. Kita tidak boleh bertanya lagi kenapa itu dilarang. Ketaatan kepada pemimpin juga tak bisa ditawar-tawar. Sebagai masyarakat tradisional, orang Kampung Naga sangat patuh kepada pemimpinnya. Pemimpin dianggap orang suci yang memiliki kharisma.

Unsur kepercayaan banyak berpengaruh dalam interaksi sosial suatu kelompok masyarakat. Bahkan, unsur kepercayaan ini dapat menjadi ciri khas (tipikal) suatu masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dan cara-cara masyarakat berkomunikasi. Hal ini mempengaruhi pula pola pikir suatu masyarakat tradisional bahkan masyarakat yang modern peradabannya.

Kepercayaan tidak dapat dipisahkan dari nilai. Jika kepercayaan bersifat kognitif, maka nilai bersifat evaluatif. Kepercayaan merupakan suatu pandangan-pandangan subyektif yang diyakini individu, bahwa suatu obyek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik. Budaya sangat memainkan peranan penting dalam membentuk suatu kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Kepercayaan dan nilai yang diyakini memberikan kontribusi bagi pengembangan isi sikap, yang kemudian diekspresikan dalam peristiwa komunikasi. Dalam konteks Antropologi, unsur kepercayaan ini malah diterjemahkan sebagai suatu kearifan lokal. Sesuatu nilai (value) yang dipercayai dan dipelajari secara tradisional dan turun-menurun.

Kepercayaan yang diyakini seseorang akan memengaruhi cara ia berperilaku dan berkomunikasi. Dell Hymes (1973), seorang ahli antropologi budaya memandang komunikasi sebagai unsur penting dalam memahami suatu kepercayaan yang tumbuh dalam suatu budaya. Dalam kajian etnografi, kepercayaan yang berkembang di suatu ras, etnis, dan kelompok masyarakat tertentu, akan memengaruhi pola-pola komunikasi masyarakat, baik komunikasi verbal maupun nonverbal sebagai simbol pemaknaan terhadap suatu gagasan atau materi. Selama ini, terdapat kesan yang menyatakan semakin tinggi peradaban suatu bangsa atau semakin tinggi tingkat kemakmuran (welfare-state) suatu negara, maka unsur kepercayaan (yang bersifat magis dan mistis/nilai-nilai budaya setempat) akan semakin menurun.

Jika kata pamali begitu diyakini kebenarannya oleh (katakanlah) sebagian masyarakat Sunda, karena ia merupakan sebuah tradisi budaya lisan leluhur Sunda, maka tentu boleh-boleh saja, jika kata-kata pamali mewarnai setiap himbauan atau larangan kepada masyarakat. Misalnya: Pamali, membuang sampah di sembarang tempat, Pamali, berjualan di tempat-tempat terlarang. Pamali merokok di tempat umum, dan pamali-pamali lainnya. Tidak ada lagi pertanyaan: Mengapa tidak boleh ini dan mengapa tidak boleh itu. Karena jawabannya cukup satu kata: Pamali !

Lantas adakah yang salah dengan pamali? Tidak, pamali sebagaimana dijabarkan diatas, telah menjadi sebuah kearifan local yang menjaga nilai – nilai tradisionalitas. Pamali juga tak lahir dalam ruang hampa tanpa ada sebab musababnya. Pamali lahir dari proses perenungan terhadap segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Ketika hukum semakin dilangkahi, maka kata pamali tetap berada pada posisinya.

Hanya saja, pamali tak hanya cukup dengan mengucapkan pamali. Pamali kini harus ditambahkan dengan penjelasan rasional sehingga tak terkesan mistis dan menebar ketakutan. Namun, jika pamali itu sendiri didekonstruksi, apakah akan kehilangan kekuatan dan wibawanya? Pamali tanpa mitos dan mistis hanya akan kembali berakhir menjadi peraturan – peraturan lainnya yang dilangkahi begitu saja. Namun jikapun tak dilakukan dekonstruksi, akahkah mereka masih percaya dengan segala cerita mengerikan yang mengikuti penggunaan istilah pamali?

Leave a comment