Menyibak Teror Gempa dan Tsunami dari Bawah Laut Pulau Sumatera

Foto by Reuters - Yusuf Ahmad
Foto by Reuters – Yusuf Ahmad

Proses alam itu ada yang terjadi secara sangat perlahan tapi konsisten terus menerus selama bertahun-tahun, puluhan tahun sampai ratusan bahkan jutaan tahun. Proses erosi pantau misalnya, lambat laun menggerus ke darat, merusak lingkungan binaan manusia secara perlahan-ahan, atau proses dinamika sungai di wilayah hilir yang mengakibatkan proses erosi dan banjir yang menggangu permukiman. Namun ada proses alam yang terjadi sangat cepat, sehingga mengakibatkan perubahan besar dalam waktu sangat singkat, yang kita kenal sebagai bencana alam, semisal peristiwa gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api. Proses alam, baik yang terjadi secara perlahan atau yang datang mendadak, dapat menjadi bencana untuk manusia dan lingkungan hidup, apabila kurang diantisipasi sebelumnya.

Mengapa Sumatra Rawan Gempa

Karena posisi pulau Sumatra terletak di sepanjang jalur tumbukan dua lempeng Tektonik, maka wilayah barat Sumatra sering terjadi gempa. Lempeng (Samudra) Hindia bergerak terus menunjam ke bawah lempeng (benua) Sumatra. Sumatra dan busur kepulauan di bagian baratnya merupakan bagian dari lempeng Eurasia, sedangkan lempeng lainnya berada di bawah Samudra Hindia.

Batas tumbukan dua lempeng ini terlihat dengan jelas berupa jalur palung laut dalam di sebelah barat Sumatra sampai ke Kepulauan Andaman. Lempeng Hindia menunjam di bawah Sumatra dengan kecepatan 50-60 mm/tahun dan kemiringan dari batas penunjamannya sekitar 120 ke arah timur (Natawidjaja, 2003; Prawirodirdjo, 2000). Batas lempeng atau bidang kontak ini disebut zona subduksi. Di Sumatra, zona subduksi ini dapat diamati dari data seismisitasnya sampai kedalaman sekitar 300 km di bawah Pulau Sumatra. Bagian zona subduksi dari palung sampai kedalaman 40-50 km-an, atau kira-kira di bawah garis pantai barat Sumatra, umumnya bersifat regas (elastik) dan di banyak bagian bidang kontaknya terekat/terkunci erat. Karena itu dorongan terus-menerus dari Lempeng Hindia menyebabkan terjadinya akumulasi energi-potensial regangan pada bidang kontak ini sehingga ‘mengkerut’. Bidang kontak yang terkunci ini sering juga disebut sebagai megathrust (mega-patahan naik yang berkemiringan landai). Inilah yang menjadi sumber gempa besar di lepas pantai barat Sumatra yang sering diikuti tsunami.

Di bawah kedalaman 40 km-an, temperatur di sekitar bidang kontak melebihi 300-4000 C, sehingga tidak lagi memungkinkan adanya akumulasi energi elastik (gempa). Dengan kata lain, pada kedalaman ini, lempeng yang menunjam akan bergeseran dengan lempeng di atasnya tanpa terkunci atau menimbulkan pengkerutan, sehingga umumnya tidak akan menghasilkan gempa besar. Pada kedalaman antara 150-200 km, temperatur Bumi bertambah panas, sehingga batuan di sekitar zona kontak ini meleleh. Kemudian, lelehan batuan panas ini naik ke atas membentuk kantung-kantung bubur batuan panas yang kita kenal sebagai kantung-kantung magma. Pada akhirnya magma ini mendesak ke atas permukaan membentuk kubah magma, yaitu gunung api. Itulah sebabnya mengapa selain banyak gempa bumi, Sumatra juga mempunyai jajaran gunung api di punggungan pulaunya, dikenal sebagai Pegunungan Bukit Barisan.

Ketika terjadi proses penunjaman, pulau-pulau yang berada di atas lempeng Sumatra ikut terseret ke bawah dan termampatkan ke arah daratan Sumatra. Suatu saat, tekanan bumi yang terhimpun di antara dua lempeng ini menjadi terlalu besar, sehingga rekatan pada bidang kontak dua lempeng ini pecah menyebabkan pulau-pulau terhentak dengan sangat kuat ke arah barat dan atas. Lentingan lempeng ini menghasilkan goncangan keras dan membuat pulau-pulau di sebelah barat terangkat, sebaliknya yang di bagian timur turun ke bawah akibat efek deformasi elastik. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi dan pulau-pulau kembali terseret ke bawah.

Siklus proses gempa bumi ini berlangsung terus, setelah selama satu abad atau lebih tekanan Bumi terakumulasi kembali, maka suatu saat nanti akan terjadi gempa bumi besar lagi.  Ketika pulau-pulau terhentak ke atas saat gempa bumi, permukaan bumi di dasar laut ikut terangkat, sehingga sejumlah besar volume air ikut terdorong ke atas dan menghasilkan bumbungan besar air di atas permukaan laut. Bumbungan air ini kemudian menyebar ke segala arah sebagai tsunami.

Tsunami sangat panjang dan bergerak sangat cepat menerjang dan membanjiri daratan. Tsunami bisa sangat berbahaya walaupun hanya beberapa meter, karena seluruh massa airnya bergerak dengan sangat cepat sehingga mempunyai energi momentum yang tinggi. Ini berbeda dengan gelombang biasa yang pergerakannya hanya di bagian atasnya saja.

Lempeng Hindia-Australia menabrak bagian barat Sumatra dengan arah miring terhadap kelurusan palung atau pulau-nya, sehingga tekanan dari gerak antar lempeng ini terbagi menjadi dua komponen. Pertama komponen yang tegak lurus dengan palung, yang sebagian besar diakomodasi oleh zona subduksi. Kedua komponen yang sejajar dengan arah palung yang menekan bagian barat Sumatra ke arah baratlaut. Komponen gerak inilah yang menyebabkan terbentuknya Patahan Besar Sumatra di sepanjang Bukit Barisan (Sieh & Natawidjaja, 2000).

Teror dari Bawah Perairan

Zona subduksi Sumatra itu merupakan jalur gempa bumi yang paling banyak menyerap energi pergerakan lempeng, karenanya paling sering menghasilkan gempa-gempa besar. Di masa lampau sudah banyak gempa bumi yang terjadi dengan magnitudo (e.g. skala Richter) di atas 8. Di selatan khatulistiwa, gempa besar pernah terjadi tahun 1833 (M 8,9) dan pada tahun 1797 (M 8,5-8,7). Kedua gempa ini menghasilkan tsunami besar yang menghantam perairan Sumatra barat dan Bengkulu.

Di khatulistiwa, gempa besar terkhir terjadi tahun 1935 dengan kekuatan gempa M 7,7. Gempa ini menyebabkan kerusakan yang cukup parah di Telo, kota Kecamatan di Kepulauan Batu dan wilayah sekitarnya. Di beberapa tempat di Kepulauan Batu dilaporkan adanya kenaikan air laut ketika gempa, namun tidak dilaporkan adanya kerusakan serius akibat gelombang laut yang naik. Di utara khatulistiwa, gempa dan tsunami besar pernah terjadi di wilayah Nias-Simeulue tahun 1861. Gempa tahun 1861 ini diperkirakan berkekuatan lebih dari 8,5 skala magnitudo (~Richter). Tercatat dalam sejarah, bahwa tsunami yang terjadi cukup besar (Newcomb and McCann, 1987; Wichmann, 1918a).

Pada tahun 1907 terjadi lagi bencana tsunami besar di wilayah Simeulue dan Nias. Meskipun gempa yang menyebabkan tsunami 1907 ini tidak terlalu besar (M 7,6), namun tinggi tsunami yang terjadi di pantai barat dan utara Simeulue mencapai lebih dari 10 m atau dua kali lebih besar dari tsunami Aceh di wilayah ini. Peristiwa tsunami tahun 1907 inilah yang konon melahirkan istilah smong, bahasa lokal untuk tsunami. Para orang tua yang selamat waktu tsunami 1907 menceritakan tragedi bencana alam ini pada anaknya, yang sampai sekarang banyak yang masih hidup. Inti nasehatnya adalah, “apabila nanti air laut tiba-tiba surut sampai jauh ke tengah, maka itulah tandanya smong akan datang, larilah cepat ke bukit, selamatkan jiwa dan tinggalkan saja harta benda”.

Sejak 11 tahun terakhir, zona subduksi Sumatra menghasilkan rentetan gempa-gempa besar yang memakan banyak korban dan harta benda. Mulai dari gempa besar tahun 2000 di Bengkulu (Abercrombie, 2002), disusul gempa tahun 2002 di Simeulue, kemudian terjadi gempa dan tsunami Aceh yang dahsyat tahun 2004 yang melanda seluruh wilayah Laut Andaman, termasuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Sejak itu, zona subduksi Sumatra seperti tidak henti-hentinya menggetarkan wilayah Sumatra sampai sekarang. Gempa Nias-Simeulue meledak pada bulan Maret 2005, hanya tiga bulan setelah gempa Aceh. Dua tahun kemudian, gempa besar Bengkulu terjadi bulan September 2007 mengoyak wilayah Bengkulu sampai ke Selatan Kepulauan Mentawai. Terakhir, pada bulan Oktober 2010, gempa Mentawai kembali menggoncang wilayah Pagai disertai tsunami dahsyat yang menelan sekitar 500 jiwa penduduk.

Gempa Besar di Masa Silam

Untuk Mengerti apa yang terjadi pada masa sekarang, kita harus memahami apa yang sudah terjadi di masa lampau. Informasi ini tercatat dalam naskah tua yang memuat peristiwa gempa dan tsunami 10 Februari 1797 pukul 22 dan 24 November 1833 pukul 20 di wilayah Mentawai, yang menghancurkan Sumatra Barat dan Bengkulu.

Semua laporan gempa dan tsunami tahun 1797 itu terfokus pada dampak tsunami di wilayah muara sungai sampai pelabuhan (Muaropadang). Ini tidak berarti bahwa limpasan tsunami hanya terlihat di wilayah ini, karena perumahan penduduk memang baru menempati wilayah ini pada saat itu. Walaupun dilaporkan kerusakan di Padang cukup parah, tapi yang meninggal hanya dua orang. Lama guncangan yang terasa di Padang selama satu menit. Laporan du Puy (1845) mengindikasikan bahwa gempa ini adalah yang terkuat dalam ingatan penduduk Padang waktu itu.

Namun pernyataan ini berlawanan dengan laporan du Puy tahun 1847 yang menyebutkan bahwa ada gempa yang lebih kuat yang terjadi 40 tahun sebelumnya (~1757). Banyak rumah yang ambruk ketika gempa. Di tanah banyak rekahan dengan bukaan 3-4 inci. Beberapa orang yang berusaha memanjat pohon untuk menghindari tsunami di Airmanis keesokan harinya ditemukan sudah mati di atas pohon. Seluruh kota terendam tsunami dan beberapa rumah dilaporkan hanyut terbawa gelombang. Di Padang dilaporkan tsunaminya juga menggenangi seluruh kota. Orang melaporkan ada 3-4 kali gelombang ”pasang-surut” di pelabuhan.

Satu laporan menyatakan bahwa tsunami naik sampai sepertiga bukit atau Semenanjung Apenberg yang tinggi totalnya 104 m. Artinya, tinggi tsunami mencapai 30 meteran. Laporan itu juga menyebutkan bahwa Bukit Appenberg tersebut yang memecahkan gelombang tsunami.

Laporan lain menyebutkan bahwa ketika tsunami, tinggi air laut sekitar 50 kaki di atas normal. Di Padang, gelombang tsunami membuat dasar sungai terlihat kering dan meninggalkan banyak ikan mati di atasnya. Semua perahu di sungai menjadi berada di atas tanah kering. Ada kapal besi dari Inggris seberat 150-200 ton yang ditambatkan ke sebuah pohon di dekat muara sungai terbawa tsunami sampai 0,75 mil ke arah hulu, kemudian terdampar di daerah  Pasarburung. Kapal ini merusakkan beberapa rumah saat terhanyut. Semua rumah di tepi laut dikabarkan tenggelam.

Di Airmanis, di sebuah kampung kecil di tepi pantai sebelah barat bukit Apenberg, tinggi tsunami cukup untuk menenggelamkan orang yang berusaha memanjat pohon-pohon untuk menghindar. Pohon-pohon ini kemungkinan sekitar 4-5 m untuk dapat menahan beban rata-rata orang dewasa. Kemudian dari fakta bahwa tsunami bisa membawa kapal besi Inggris seberat 150-200 ton, artinya tinggi tsunami (flow depth) paling tidak lima meteran, mengingat tinggi  pinggiran sungai sekitar 2 m dan draft bawah kapal sekitar tiga meteran. Jadi dari dua catatan kejadian ini dapat  disimpulkan bahwa tinggi tsunami sekitar lima meteran. Ini perkiraan yang cukup konservatif dibandingkan dengan laporan yang menyebutkan bahwa tinggi tsunami sekitar 30 meter di tepi Bukit Apenberg dan sekitar 50 kaki (15 m) di tempat lainnya di sepanjang pantai.

Laporan ini meragukan, karena kalau benar hal itu terjadi, seharusnya tsunami sebesar ini menghancurkan seluruh perumahan penduduk di Padang dan menyebabkan kematian yang lebih banyak lagi. Diperkirakan, tinggi maksimum tsunami setinggi 5-10 meteran.

Tahun 1833 terjadi guncangan gempa, terasa sampai 5 menit di Bengkulu dan sekitar 3 menit di Padang. Guncangan terasa sampai ke Singapura dan Jawa. Terjadi tsunami besar yang merusakkan wilayah Bengkulu, Pulau Cinco, Indrapura, Padang, dan Pariaman. Laporan menyebutkan tidak ada korban meninggal di Bengkulu dan hanya satu di Padang. Goncangan sangat kuat di wilayah sepanjang pantai dari Bengkulu sampai Pariaman dan di Pulau-pulau Pagai. Di Pariaman  goncangan demikian kuat sehingga tidak ada orang yang bisa berdiri.

Kerusakan besar terjadi di Padang dan Bengkulu, tapi yang lebih parah adalah di Bengkulu, seluruh struktur bangunan rusak berat. Benteng dan menara hancur total. Di Padang, rumah-rumah kayu tetap berdiri, tapi banyak rumah tembok rusak parah. Di Sumatra bagian timur, kerusakan bangunan dilaporkan sampai ke Kota Palembang. Rekahan tanah selebar 2 kaki terjadi di Pariaman, dan juga banyak retakan-retakan tanah di sepanjang pantai antara Pariaman dan Padang, dan di pinggiran sungai di Padang.

Tsunami yang terjadi di Padang menghanyutkan banyak kapal bersama jangkarnya dan sebagian kapal hilang. Di pantai, hempasan tsunami mencapai ketinggian 3-4 m. Peta Kota Padang tahun 1828 memperlihatkan perumahan yang masih sedikit di sepanjang pantai, dan pusat kota masih berada di wilayah bagian utara sungai, sampai sekitar 1 km ke arah darat. Dermaga dan bangunan pelabuhan di Bengkulu tersapu ludes oleh tsunami, dan beberapa kapal terhempas ke darat. Di Pariaman, dilaporkan tsunami didahului surutnya air laut. Gelombang menghempaskan kapal-kapal dari tempat tambatnya. Di Pulau Cinco, tsunami menyapu beberapa rumah dan orang. Di Indrapura, di utara Kota Bengkulu, tsunami yang dahsyat menerjang daratan membanjiri daratan rendah, dan satu kampung luluh-lantak. Seorang ibu beserta anaknya terbawa tsunami dan hilang, tapi banyak orang yang bisa menyelamatkan diri dengan memanjat pohon, menunggu sampai pagi. Tsunami yang sampai di Pulau Seychelles yang berada sekitar 5000 km dari pantai barat Sumatra di lautan Hindia, tinggi tsunaminya seperti tsunami yang terjadi di Aceh-Andaman tahun 2004.

Dua gunung api, Marapi dan Kerinci, memperlihatkan kenaikan aktivitas setelah gempa. Runtuhnya dam alam di puncak Gunung Kaba menyebabkan banjir di lembah-lembah di lereng sebelah tenggaranya. Banjir bandang ini menyebabkan hilangnya 90 orang penduduk. Satu kampung tenggelam oleh banjir yang dalamnya sampai 20 kaki (~6 m) dan meninggalkan timbunan lumpur sedalam 7 kaki (2 m lebih).  Lama goncangan gempa dan luasnya cakupan serta hebatnya kerusakan yang ditimbulkan, mengindikasikan bahwa sumber gempanya sangat besar. Fakta bahwa kerusakan lebih parah terjadi di Bengkulu dari pada di Padang adalah indikasi yang kuat bahwa sumber gempanya lebih dekat ke Bengkulu, berda di bawah Kepulauan Pagai, tapi tidak sampai ke Siberut (pulau yang berhadapan dengan Padang). Kerusakan akibat tsunami juga dilaporkan lebih parah yang terjadi di Bengkulu – Indrapura daripada di Padang. Memang dilaporkan bahwa kapal-kapal di Pariaman terlepas dari tambatannya, tapi deskripsinya menunjukkan bahwa gelombang airlaut tidak sampai melewati dam alam di pinggiran sungai, seperti halnya tsunami yang terjadi pada tahun 1797.

Meskipun demikian catatan sejarah menunjukkan bahwa gelombang laut mencapai ketinggian 3-4 m di Pantai Padang, yang tentunya cukup untuk menyapu wilayah pantai sampai beberapa ratus meter ke darat. Tapi kelihatannya tidak melanda banyak perumahan yang masih jarang seperti terlihat di peta tahun 1828.

Sudah takdir alam, bahwa kita sekarang hidup di zona subduksi Sumatra yang mulai melepaskan akumulasi regangan tektoniknya, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu.

Gempa Aceh-Andaman 2004

Sekarang kita paham bahwa gempa tahun 2004 di Aceh-Andaman bukanlah refleksi dari alam yang murka, melainkan ekspresi bumi dalam melepaskan tekanan selama beratus-ratus tahun yang sudah tak tertahankan lagi. Bagi Bumi, ini merupakan proses biasa saja yang akan terus berulang kali terjadi dalam kurun waktu Bumi. Meskipun demikian, gempa bumi dan tsunami yang terjadi bulan Desember 2004 di wilayah Aceh-Andaman adalah bencana alam terbesar dalam kurun seratus tahun terakhir.

Gempa bumi yang menimbulkan tsunami maut ini terjadi pada zona subduksi Sumatra-Andaman Gempa bumi  ini memecahkan bidang kontak zona subduksi sepanjang 1600 km, mulai dari Pulau Simeulue sampai ke wilayah Kepulauan Andaman, akibat Lempeng Hindia yang bergerak sekitar 50 mm/tahun, menghimpit lempeng Sumatra-Andaman. Setelah lebih dari 300 tahun tidak ada gempa bumi raksasa, akhirnya tekanan yang terakumulasi sekian lamanya ini dilepaskan dalam satu hentakan maut dengan skala Mw 9,2. Pulau-pulau dan dasar lautan di timur palung sepanjang 1600 km tersebut tiba-tiba terpelanting ke barat sejauh 10-30 meter, dan terangkat ke atas beberapa meter. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya bumi berguncang dan berapa banyaknya volume air laut yang tiba-tiba ikut terangkat akibat dasar laut yang naik tersebut. Tak heran kalau tsunami yang terjadi demikian dahsyatnya.

Selain merupakan bencana alam besar, gempa Aceh tahun 2004 menjadi obyek yang sangat penting bagi para ahli gempa bumi dan tsunami se-Dunia. Gempa  megathrust tahun 2004 ini merupakan yang pertama terjadi setelah alat pemantau gempa bumi modern banyak terpasang, khususnya jaringan seismometer dan stasiun GPS (Global Positioning System), sehingga menjadi obyek penelitian gempa bumi yang sangat penting dalam abad ini. Data gempa dan tsunami Aceh yang sekarang tersedia, baik dari peralatan modern yang terpasang ataupun dari hasil penelitian geologi lapangan, merupakan sumber data penting bagi para ahli untuk lebih mengerti proses alam yang seringkali membawa malapetaka besar ini. Sebelumnya zona subduksi Aceh-Andaman diklasifikasikan sebagai yang kurang berpotensi untuk menghasilkan gempa raksasa (Skala Magnitudo/Richter ≥ 9), karena lempeng yang menunjam umurnya sangat tua dan kecepatan gerak lempengnya relatif rendah. Oleh karena itu Gempa Aceh-Andaman tahun 2004 ini telah mengubah paradigma dasar dalam ilmu gempa bumi dan konsep mitigasinya.

Gempa Nias 28 Maret 2005

Setelah gempa Aceh 2004, bumi Sumatra seperti tidak henti-hentinya bergoncang dalam tujuh tahun terakhir ini. Sudah puluhan gempa berkekuatan 7 SR, ratusan gempa 6 SR, dan ribuan gempa 5 SR atau lebih kecil. Sejak itu ribuan korban jiwa dan tidak terhitung banyaknya kerugian harta benda akibat digoyang gempa dan dilibas tsunami yang menyertainya, dan kelihatannya dekade teror gempa ini belum selesai. Untuk lebih memahami dan dapat  mengantisipasi bencana di masa datang marilah kita mengkaji gempa-gempa besar yang sudah terjadi.

Hanya tiga bulan setelah bencana besar di bulan Desember 2004, terjadi lagi gempa besar di wilayah Simeulue dan Nias pada tanggal 28 Maret 2005. Gempa ini merupakan perulangan dari gempa besar yang pernah terjadi di wilayah yang sama sekitar 145 tahun silam tahun 1861 (M ~8,5).

Seperti halnya waktu gempa Aceh tahun 2004, gempa tahun 2005 inipun mengangkat sebagian wilayah, terutama bagian barat Pulau Nias yang terangkat sampai 3 m, termasuk Pelabuhan Sirombu di pantai Nias barat, yang sekarang tidak berfungsi lagi. Wilayah selatan Pulau Simeulue juga terangkat 1 sampai 1,5 m, termasuk Kota Sinabang, sehingga tampak air laut sepertinya menjadi susut di sepanjang pantai. Kota Gunungsitoli terletak di sekitar sumbu pemisah antara wilayah yang naik di barat dan wilayah yang turun di timur, sehingga kota ini posisinya tetap, alias tidak naik dan tidak turun. Sebaliknya desa dan kota kecamatan di wilayah timur, seperti Desa Haloban di Pulau Tuanku, Banyak dan Kecamatan Bale, turun 0,5 dan 1 m. Hal ini menyebabkan banyak rumah-rumah di tepi pantai di Haloban dan Bale terendam di bawah air sehingga tidak bisa dihuni lagi.

Ketika gempa Nias-Simeulue terjadi, tim LIPI-Caltech baru saja memasang beberapa unit stasiun GPS di wilayah ini, tepat di atas dan sekitar sumber gempa, sehingga pergerakan tektonik yang terjadi sebelum, sewaktu dan setelah gempa terekam dengan baik oleh alat pemantau ini. Selain itu di sekeliling Pulau Nias juga banyak dijumpai populasi koral mikroatol yang digunakan untuk mengukur pangangkatan dan penurunan akibat gempa.

Di selatan Simeulue, pangangkatan maximum mencapai ~150 cm. Tingginya pengangkatan pada waktu gempa Maret 2005 ini makin mengecil ke bagian utara sampai 0 cm di ujung utara pulau. Ini adalah kebalikannya dengan yang terjadi pada waktu gempa Aceh Desember 2004, bagian utara Pulau Simeulue naik 150 cm, sedangkan bagian selatannya turun. Jadi, setelah mengalami dua kejadian gempa raksasa secara beruntun, Pulau Simeulue menjadi terangkat ~150 cm seluruhnya. Demikian uniknya, Pulau Simeulue ini menjadi tempat rendevouz dua gempa raksasa.

Berbeda dengan wilayah di bagian barat, wilayah timur Simeulue, Banyak dan Nias mengalami penurunan tektonik sampai lebih dari 1 m. Di beberapa tempat, akibat penurunan muka bumi ini sangat dramatis. Banyak perkampungan yang tidak dapat dihuni kembali karena sudah berada di bawah air, seperti yang terlihat di Pulau Bale dan Desa Haloban.

Dari data pola pengangkatan pada, kemudian dibuat pemodelan dari sumber patahan gempanya. Model patahan gempa memperlihatkan bahwa pergeseran maksimum terjadi persis di bawah Pulau Nias bagian utara mencapai 11 m, sedangkan di bawah Pulau Simeulue bagian selatan pergeseran terjadi mencapai 8 m. Pergeseran lempeng sampai ke bawah Pulau Simuk (Kepulauan Batu) di Selatan. Di sini pergeseran mencapai 3 meter dan membuat Pulau Simuk terangkat 25 centimeter. Model sumber gempa bumi Nias-Simeulue ini menunjukan bahwa kekuatan gempanya mencapai Mw 8,7.

Gempa Nias-Simeulue tahun 2005 ini meluluhlantakan banyak bangunan di sekitar kota gunung sitoli dan sinabang, daerah dengan populasi terpadat, sehingga memakan korban jiwa hampir dua ribu orang. Meskipun demikian, masih beruntung karena tsunami yang terjadi tidak besar, sehingga tidak ada korban jiwa. Setelah gempa 2005 ini, banyak orang bertanya-tanya mengapa tidak ada tsunami?

Seperti yang sudah dijelaskan, besarnya tsunami yang terjadi tergantung dari besarnya volume air yang didorong ke atas oleh permukaan dasar laut yang terangkat. Berikut ini perbandingan gempa 2004 dan 2005. Pertama, zona subduksi yang pecah dan bergeser pada waktu gempa 2004 adalah sepanjang 1600 km sedangkan pada waktu gempa 2005 hanya 400 kilometer. Kedua, pengangkatan tektonik yang terjadi pada waktu gempa 2004 mencapai 5,4 meter, sedangkan gempa 2005 hanya 2,9 meter. Ketiga, pada awktu gempa 2004, pengangkatan maksimum banyak terjadi pada bagian laut yang dalam, sedangkan pada gempa 2005 pengangkatan terfokus pada bagian daratan (Pulau Nias dan Pulau Simeulue) dan laut dangkal di sekitarnya. Ketiga fakta ini jelas menunjukan bahwa volume air laut yang terdorong ke atas pada waktu gempa Nias-Simeulue 2005 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang pada waktu gempa Aceh-Andaman 2004. Alasan yang terakhir karena daratan (Pulau Nias dan Simeulue) sudah terangkat ketika gempa terjadi sebelum tsunami datang 10 menit kemudian. Hal ini membuat limpasan tsunami di sepanjang pantai menjadi lebih kecil. Misalnya, kalaupun tsunaminya mencapai tinggi 5 m, tapi karena daratan naik 3 m maka tsunami yang menghempas pantai terasa seperti hanya 2 m. Hal lainnya yang menyebabkan mengapa tsunami yang menghempas pantai barat Sumatra juga kecil karena keberadaan Pulau Nias dan  Simeulue menjadi seperti penghalang atau dam alam bagi tsunami yang terbentuk di bagian barat pulau-pulau itu (Natawidjaja et al., 2007).

Sumber Danny Hilman Natawidjaja, dimuat dalam GeoMagz Edisi Desember 2011

Leave a comment